Puisi Pilihan Hadi Jaafar
Hadi ini agak berbeza dengan penulis lain di Malaysia kerana dia begitu minat puisi prosa. Ini satu bentuk puisi yang masih kabur maksudnya di kalangan peminat sastera kita dan ia juga belum ada pengikut ramai. T. Alias Taib pernah tulis puisi prosa yang lucu tentang seorang pencuri seluar dalam di Yaohan. Maka tidak hairanlah kalau puisi pilihan Hadi Jaafar adalah Khotbah karangan W. S. Rendra.
Khotbah
Oleh W. S. Rendra
Fantastis.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
lalu berkata:
“Sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tak ada.”
Orang-orang tidak beranjak.
Mereka tetap duduk rapat berdesak.
Ada juga banyak yang berdiri.
Mereka kaku. Tak mau bergerak
Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
berhenti berdoa
tapi ingin benar mendengar.
Kemudian dengan serentak mereka mengesah
dan berbareng dengan suara aneh dari mulut mereka
tersebarlah bau keras
yang perlu dicegah dengan segera.
“Lihatlah aku masih muda.
Biarlah aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Ijinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
merenungkan keindahan Ilahi.”
Orang-orang kembali mengesah.
Tidak beranjak.
Wajah mereka nampak sengsara.
Mata mereka bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
sangat butuh mendengar.
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga.
Tuhanku, kenapa di saat ini kautinggalkan daku.
Sebagai sekelompok serigala yang malas dan lapar
mereka mengangakan mulut mereka.
Udara panas. Dan aku terkencing di celana.
Bapak. Bapak. Kenapa kautinggalkan daku.”
Orang-orang tidak beranjak.
Wajah mereka basah.
Rambut mereka basah.
Seluruh tubuh mereka basah.
Keringat berkucuran di lantai
kerna udara yang panas
dan kesengsaraan mereka yang tegang.
Baunya busuk luar biasa.
Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk juga.
“Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga.
Inilah khotbahku.
Ialah khotbahku yang pertama.
Hidup memang berat.
Gelap dan berat.
Kesengsaraan banyak jumlahnya.
Maka dalam hal ini
kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.
Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra.
Tengoklah kebijaksanaan kadal
makhluk Tuhan yang juga dicintai-Nya.
Meniaraplah ke bumi.
Kerna, lihatlah:
Sukamamu terjepit di antara batu-batu.
Hijau.
Lumutan.
Sebagai kadal ra-ra-ra.
sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”
Orang-orang serentak bersuara:
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja.
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
“Kepada kaum lelaki yang suka senapan
yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
aku minta dicamkan
bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi
agar tak kaulihat siapa yang kaupijak.
Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.
Bersihkan darah dari tanganmu
agar aku tak gemetar
lali kita bisa duduk minum the
sambil ngomong tentang derita masyarakat
atau hakekat hidup dan mati.
Hidup penih sengsara dan dosa.
Hidup adalah tipu muslihat.
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Jadi marilah kita tembak matahari.
Kita bidik setepat-tepatnya.”
Dengan gembira orang-orang menyambut bersama:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Mereka berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai.
Berderap serentak dan seirama.
Suara mereka bersatu:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Hanyut dalam persatuan yang kuat
mereka berteriak bersama
persis dan seirama:
La-la-la, lil-li-li, la-li-lo-lu.
“Maka kini kita telah hidup kembali.
Darah terasa mengalir dengan derasnya.
Di kepala. Di leher. Di dada.
Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya.
Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar.
Darah itu bong-bong-bong.
Darah hidup bang-bing-bong.
Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong.
Hidup berama-ramai.
Darah bergaul dengan darah.
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”
Orang-orang meledakkan gairah hidupnya.
Mereka berdiri di atas bangku-bangku gereja.
Berderap-derap dengan kaki mereka.
Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela,
semua dipalu dan dibunyikan.
Dalam satu irama.
Diiringi sorak gembira:
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.
Cinta harus kita muliakan.
Cinta di belukar.
Cinta di took Arab.
Cinta di belakang halaman gereja.
Cinta itu persatuan dan tra-la-la.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
Sebagi rumputan
kita harus berkembang biak
dalam persatuan dan cinta.
Marilah kita melumatkan diri.
Marilah kita bernaung di bawah rumputan.
Sebagaimana pedoman kita:
“Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.’
Seluruh isi gereja gemuruh.
Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.
Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka.
Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki.
Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan tubuhnya.
Dan ada juga yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok gereja.
Dan dengan suara menggigil yang ganjil
mereka melengking dengan serempak.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
“Melewati Nabi Musa yang keramat
Tuhan telah berkata:
Jangan engkau mencuri.
Pegawai kecil jangan mencuri tulang-tulang ayam goring.
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya.
Artinya: Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Semua barang dari Tuhan.
Harus dibagi bersama.
Semua milik semua.
Semua untuk semua.
Kita harus bersatu. Kita untuk kita.
Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Inilah pedomannya.”
Sebagai binatang orang-orang bersorak:
Grrr-grrr-hura. Hura.
Cha-cha-cha, Cha-cha-cha.
Mereka copoti daun-daun jendela.
Mereka ambil semua isi gereja.
Candelabra-candelabra. Tirai-tirai. Permadani-permadani.
Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan permata.
Cha-cha-cha, begitu nyanyi mereka.
Cha-cha-cha, berulang-ulang diserukan.
Seluruh gereja rontok.
Cha-cha-cha.
Binatang-binantang yang basah berkeringat dan deras napasnya
Berlarian kian ke mari.
Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.
Lalu tiba-tiba terdengar lengking jerit perempuan tua:
“Aku lapar. Lapaar. Lapaaar.”
Tiba-tiba semua juga merasa lapar.
Mata mereka menyala.
Dan mereka tetap bersuara cha-cha-cha.
“Sebab sudah mulai lapar
marilah kita bubaran.
Ayo, bubar. Semua berhenti.”
Cha-cha-cha, kata mereka
dan mata mereka menyala.
“Kita bubar.
Upacara dan khotbah telah selesai.”
Cha-cha-cha, kata mereka.
Mereka tidak berhenti.
Mereka mendesak maju.
Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.
“Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”
Cha-cha-cha.
Mereka maju menggasak mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan.
Tak ada lagi yang sisa.
Di satu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
lalu berkata:
“Sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tak ada.”
Orang-orang tidak beranjak.
Mereka tetap duduk rapat berdesak.
Ada juga banyak yang berdiri.
Mereka kaku. Tak mau bergerak
Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
berhenti berdoa
tapi ingin benar mendengar.
Kemudian dengan serentak mereka mengesah
dan berbareng dengan suara aneh dari mulut mereka
tersebarlah bau keras
yang perlu dicegah dengan segera.
“Lihatlah aku masih muda.
Biarlah aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Ijinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
merenungkan keindahan Ilahi.”
Orang-orang kembali mengesah.
Tidak beranjak.
Wajah mereka nampak sengsara.
Mata mereka bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
sangat butuh mendengar.
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga.
Tuhanku, kenapa di saat ini kautinggalkan daku.
Sebagai sekelompok serigala yang malas dan lapar
mereka mengangakan mulut mereka.
Udara panas. Dan aku terkencing di celana.
Bapak. Bapak. Kenapa kautinggalkan daku.”
Orang-orang tidak beranjak.
Wajah mereka basah.
Rambut mereka basah.
Seluruh tubuh mereka basah.
Keringat berkucuran di lantai
kerna udara yang panas
dan kesengsaraan mereka yang tegang.
Baunya busuk luar biasa.
Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk juga.
“Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga.
Inilah khotbahku.
Ialah khotbahku yang pertama.
Hidup memang berat.
Gelap dan berat.
Kesengsaraan banyak jumlahnya.
Maka dalam hal ini
kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.
Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra.
Tengoklah kebijaksanaan kadal
makhluk Tuhan yang juga dicintai-Nya.
Meniaraplah ke bumi.
Kerna, lihatlah:
Sukamamu terjepit di antara batu-batu.
Hijau.
Lumutan.
Sebagai kadal ra-ra-ra.
sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”
Orang-orang serentak bersuara:
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja.
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
“Kepada kaum lelaki yang suka senapan
yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
aku minta dicamkan
bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi
agar tak kaulihat siapa yang kaupijak.
Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.
Bersihkan darah dari tanganmu
agar aku tak gemetar
lali kita bisa duduk minum the
sambil ngomong tentang derita masyarakat
atau hakekat hidup dan mati.
Hidup penih sengsara dan dosa.
Hidup adalah tipu muslihat.
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Jadi marilah kita tembak matahari.
Kita bidik setepat-tepatnya.”
Dengan gembira orang-orang menyambut bersama:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Mereka berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai.
Berderap serentak dan seirama.
Suara mereka bersatu:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Hanyut dalam persatuan yang kuat
mereka berteriak bersama
persis dan seirama:
La-la-la, lil-li-li, la-li-lo-lu.
“Maka kini kita telah hidup kembali.
Darah terasa mengalir dengan derasnya.
Di kepala. Di leher. Di dada.
Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya.
Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar.
Darah itu bong-bong-bong.
Darah hidup bang-bing-bong.
Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong.
Hidup berama-ramai.
Darah bergaul dengan darah.
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”
Orang-orang meledakkan gairah hidupnya.
Mereka berdiri di atas bangku-bangku gereja.
Berderap-derap dengan kaki mereka.
Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela,
semua dipalu dan dibunyikan.
Dalam satu irama.
Diiringi sorak gembira:
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.
Cinta harus kita muliakan.
Cinta di belukar.
Cinta di took Arab.
Cinta di belakang halaman gereja.
Cinta itu persatuan dan tra-la-la.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
Sebagi rumputan
kita harus berkembang biak
dalam persatuan dan cinta.
Marilah kita melumatkan diri.
Marilah kita bernaung di bawah rumputan.
Sebagaimana pedoman kita:
“Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.’
Seluruh isi gereja gemuruh.
Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.
Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka.
Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki.
Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan tubuhnya.
Dan ada juga yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok gereja.
Dan dengan suara menggigil yang ganjil
mereka melengking dengan serempak.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
“Melewati Nabi Musa yang keramat
Tuhan telah berkata:
Jangan engkau mencuri.
Pegawai kecil jangan mencuri tulang-tulang ayam goring.
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya.
Artinya: Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Semua barang dari Tuhan.
Harus dibagi bersama.
Semua milik semua.
Semua untuk semua.
Kita harus bersatu. Kita untuk kita.
Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Inilah pedomannya.”
Sebagai binatang orang-orang bersorak:
Grrr-grrr-hura. Hura.
Cha-cha-cha, Cha-cha-cha.
Mereka copoti daun-daun jendela.
Mereka ambil semua isi gereja.
Candelabra-candelabra. Tirai-tirai. Permadani-permadani.
Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan permata.
Cha-cha-cha, begitu nyanyi mereka.
Cha-cha-cha, berulang-ulang diserukan.
Seluruh gereja rontok.
Cha-cha-cha.
Binatang-binantang yang basah berkeringat dan deras napasnya
Berlarian kian ke mari.
Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.
Lalu tiba-tiba terdengar lengking jerit perempuan tua:
“Aku lapar. Lapaar. Lapaaar.”
Tiba-tiba semua juga merasa lapar.
Mata mereka menyala.
Dan mereka tetap bersuara cha-cha-cha.
“Sebab sudah mulai lapar
marilah kita bubaran.
Ayo, bubar. Semua berhenti.”
Cha-cha-cha, kata mereka
dan mata mereka menyala.
“Kita bubar.
Upacara dan khotbah telah selesai.”
Cha-cha-cha, kata mereka.
Mereka tidak berhenti.
Mereka mendesak maju.
Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.
“Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”
Cha-cha-cha.
Mereka maju menggasak mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan.
Tak ada lagi yang sisa.
* * *
Hadi Jaafar: "Aku memang peminat sajak-sajak naratif rendra...dan sajak Khotbah yang paling memberi kesan, bukan saja sebab mesej/content yang cuba disampaikan rendra, tapi membacanya seolah melihat pada sebuah lukisan. Intensity yang kau dapat dari pembacaan tu hampir pada perasaan mendengar simfoni no 9 Beethoven."
Comments