Borges Di Sofa David Foster Wallace

Borges ialah jambatan antara era moden dan pascamoden, tulis David Foster Wallace
 [Dear Hogarth,

Saya gembira mengetahui yang kamu sudah bangun daripada kerusi di dalam bilik. Seboleh-bolehnya Hogarth - dan tolong ikut nasihat saya kali ini - tinggalkan dulu bilik itu selama beberapa bulan. Pergi berjalan: dan bila saya kata berjalan, maksud saya ialah berjalan jauh dari Kuala Lumpur.

Jangan menulis. Lupakan novel itu. Baliklah kampung dan jumpa keluarga kamu. Bilakah kali terakhir kamu balik Hogarth?

Tentang buku esei Jonathan Franzen, terima kasih kerana mengirimkannya bersama bekalan isteri saya. Saya telah menemui penulis biografi David Foster Wallace dan kami sama-sama telah menyemak beberapa esei Wallace yang belum pernah dibukukan. Saya tahu kamu teruja untuk tahu apa-apa pendapat Wallace terhadap esei atau novel Franzen: mereka, menurut kamu, adalah sahabat dan juga pesaing. Mungkin esok apabila saya kembali ke garaj tempat Wallace membuat kerjanya, saya akan jumpa sesuatu yang menarik.

Tetapi setakat yang saya telah selongkari dan susun, ada satu esei Wallace yang saya kira mengujakan untuk dikongsikan dengan kamu. Ia tentang Borges. Kita sudah pernah lihat buku Borges yang Wallace membuat pelbagai jenis contengan di dalamnya. Tetapi ini ialah pendapat Wallace sendiri. Judulnya ialah Borges on the Couch. Terlalu panjang untuk saya turunkan semuanya di sini. Hanya ada satu bahagian yang saya akan bagi kamu baca:  

". . . Borges is arguably the great bridge between modernism and post-modernism in world literature. He is modernist in that his fiction shows a first-rate human mind stripped of all foundations in religious or ideological certainty — a mind turned thus wholly in on itself. His stories are inbent and hermetic, with the oblique terror of a game whose rules are unknown and its stakes everything.

And the mind of those stories is nearly always a mind that lives in and through books. This is because Borges the writer is, fundamentally, a reader. The dense, obscure allusiveness of his fiction is not a tic, or even really a style; and it is no accident that his best stories are often fake essays, or reviews of fictitious books, or have texts at their plots’ centers, or have as protagonists Homer or Dante or Averroes. Whether for seminal artistic reasons or neurotic personal ones or both, Borges collapses reader and writer into a new kind of aesthetic agent, one who makes stories out of stories, one for whom reading is essentially — consciously — a creative act. This is not, however, because Borges is a metafictionist or a cleverly disguised critic. It is because he knows that there’s finally no difference — that murderer and victim, detective and fugitive, performer and audience are the same. Obviously, this has postmodern implications (hence the pontine claim above), but Borges’s is really a mystical insight, and a profound one. It’s also frightening, since the line between monism and solipsism is thin and porous, more to do with spirit than with mind per se. And, as an artistic program, this kind of collapse/transcendence of individual identity is also paradoxical, requiring a grotesque self-obsession combined with an almost total effacement of self and personality. Tics and obsessions aside, what makes a Borges story Borgesian is the odd, ineluctable sense you get that no one and everyone did it."

Saya yakin di saat ini kamu tidak percaya yang ia ditulis oleh Wallace. Namun, tidakkah kamu rasa ia pujian yang terlalu berlebihan untuk diberikan kepada manusia lain? Saya meragui pujian dan juga kritikan kerana saya meragui ingatan kita terhadap seseorang. 

Mungkin sebab itu saya tidak boleh menjadi seorang pengkritik seperti kamu. Kerana saya hidup tanpa sebarang ingatan tentang diri saya. 

Selamat berjalan Hogarth.

Oleh sahabatmu dari New York: A] 

Comments

Popular Posts