Adam Gopnik Menulis Tentang Philip Roth

Philip Roth

Bersara ialah keputusan yang bijaksana kerana ia tidak mudah untuk dilakukan. Saya melihat generasi sebelum-dan-sebelum-dan-sebelum saya masih menulis, walaupun mereka sebenarnya tidak boleh lagi menulis. Mereka masih mengejar nama dan pangkat; masih angkuh (atau lebih angkuh); masih ingin disambut dan diraikan sebagai dewa; masih rasa mereka "berjuang" untuk sastera dan masyarakat. Terserah; terserah.

Kita tahu Philip Roth telah bersara. Baru-baru ini dalam satu survey untuk memilih siapakah novelis terbaik di Amerika sekarang, pilihan itu jatuh - seperti saya duga - kepada Roth. Betulkah dia yang terbaik? Barangkali ya. Itupun kalau kita bersedia untuk menolak nama novelis-novelis lain seperti Cormac McCarthy, Joyce Carol Oates, Paul Auster, dan William H. Gass. Jadi barangkali tidak ada apa yang dikatakan terbaik; hanya yang paling dibaca dan berpengaruh di sesuatu zaman. 

Dalam artikel Adam Gopnik untuk majalah New Yorker (boleh dibaca di sini), dia membuat spekulasi nakal yang mungkin Roth masih belum bersara secara total, tapi sedang diam-diam mengatur perancangan buat Nathan Zuckerman (salah satu alter-ego terkenal Roth) supaya menulis cerita tentang persaraannya sebagai novelis:

Roth’s announced retirement has added a touch of the elegiac to what would be a big birthday in any case, although every Roth lover has to ask if he really has retired. There is a small, sneaky, admiring notion that the retirement, though hardly a put-on, is likely to become an irresistible occasion for one last Möbius strip of fictional-confessional construction, in which Zuckerman may be found creating a novelist, call him Isaac Kaplan, who, at the age of eighty, has decided to stop writing, only to find that this has increased, rather than limited, his fame: “To stop writing had turned out to be the one final way to make his writing matter! Absence had provided a keener presence than the past ten years of books, Isaac thought, as well as a rush of affection and regard that seemed, in its way, as disquieting as the old hostility had ever been.” The Roth sound is there, in our heads. He was “serious in the fifties,” to use his own coinage, satiric in the sixties, sober in the seventies, sane in the eighties, and became—with the amazing sequence of big late novels that commenced with “Sabbath’s Theater”—a kind of sage in the nineties and right into our confused new century.

Spekulasi seorang peminat! Kita boleh membayangkan gosip seperti ini tersebar di kalangan pembaca ketika Shakespeare dan  Charles Dickens tidak lagi menulis. Sesungguhpun seorang penulis mencipta personanya sendiri untuk dibawa ke tengah keramaian, pembaca juga mempunyai kuasa mereka dalam mempengaruhi tafsiran khalayak terhadap persona ini.

Zaman kita ialah zaman di mana kuasa pembaca (atau pembeli) sangat dominan. Sebuah buku boleh ditasbih atau dicincang dalam masa beberapa minit sebaik saja ia dimuat naik ke dalam Facebook atau Twitter. Seperti Adam Gopnik sebut dalam artikel itu, zaman kita ialah zaman yang mudah untuk menjadi penulis, tapi susah untuk menjadi penulis profesional. Gopnik menamatkan artikelnya dengan mengambil nasihat daripada pengkritik terkenal, Samuel Johnson:

It is always difficult to be an artist, devoted to seeing and making, in a commercial society devoted to showing and spending. If many writers would, with justice, rather have fewer parties for the big fish and more pay for the small fry, well, Dr. Johnson said, rightly, that anyone who decides to write something believes herself to be wiser or wittier than the rest of mankind, and that it is up to the rest of mankind to decide if she is. For the moment, it’s up to the readers, like the ones on the Newark bus tour, with their copies of “American Pastoral” thrown open to the local passages, to decide who gets the parties. Since all writers are, in the first instance, readers, too, even the most anxious among them have to cheer when a small city throws a big party for one of the best.

 
 


Comments

Popular Posts