Surat H. B. Jassin Kepada Yahaya Ismail


Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin

Surat Pertama.

Jakarta, 29 Januari 1966

Saudara Yahaya,

Surat Saudara tanggal 30 Disember yang lalu baru saja saya terima. Tentu saja saya tidak keberatan Saudara mengutip Manifes Kebudayaan dari majalah Sastra, bahkan kami merasa syukur Saudara suka menyebarkannya lebih luas di Malaysia, di mana bahaya komunis di lapangan kebudayaan pun rupanya masih merupakan suatu ancaman yang nyata.

Tolong saudara kirimkan majalah atau surat kabar yang memuat pembicaraan mengenai Saudara dengan pengarang-pengarang Indonesia, dan juga tentang Mocktar Lubis tatkala ia berkunjung ke Malaysia, sebab majalah dan surat kabar itu belum ada yang sampai ke Indonesia. Juga majalah-majalah Dewan Bahasa saya ingin mendapatkannya.

Saya telah membaca novel Rentong karangan Shahnon Ahmad yang Saudara berikan kepada saya tempo hari dan saya merasa kagum. Temanya begitu sederhana, diceritakan dengan bahasa yang  begitu wajar pula, namun amanat yang terkandung di dalamnya amat luas dan dalam, serta aktual sekali.

Juga saya telah baca Jalan Pulang karangan Anas K. Hadimadja, penulis muda yang penuh bakat, yang dikirimkan oleh istrinya yang kebetulan bekas murid saya di Fakultas Sastra UI sebelum konfrontasi. Pengarang ini rupanya mempunyai pengalaman yang banyak dan imajinasi yang kuat, sayang rangkumannya terlalu luas, hingga nampak ia tidak mampu mengusai kesatuan jalan cerita. Watak-wataknya cukup hidup dan bisa diterima, tapi ada perulangan-perulangan yang rasanya tidak perlu, seperti misalnya penampilan tokoh-tokoh wanita dan kiai-kiai yang seorang demi yang lain tidak berhasil membawanya ke jalan yang lurus. Peranan tokoh utama Saufi sebagai pemimpin rakyat sosial demokratis, tidak Istrinya Leong yang diberi tugas mengembalikannya ke jalan yang benar pun ditinjau dari sudut keyakinan agama, terlalu lemah untuk menghadapi binatang Saufi. Sehingga judul buku Jalan Pulang setelah selesai membaca buku ini, jadi pertanyaan bagi saya.

Saya juga sedang membaca Salina karangan A. Samad Said dan membalik-balik halaman buku Desa Pingitan karangan Ibrahim Omar, yang Saudara hadiahkan kepada Lembaga Bahasa tempo hari. Malaysia boleh bangga dengan kemajuannya dalam kesusasteraan. Kami di Indonesia sudah lama tidak menerbitkan buku roman yang tebal, bertaun-tahun terakhir ini hanya kumpulan cerita pendek dan sajak-sajak.

Saya tidak sependapat dengan Profesor Teeuw dalam salah satu tulisannya - saya tidak ingat lagi di mana - di mana ia mengatakan bahawa kesusastraan Malaysia berada dalam taraf kesusastraan Indonesia sebelum perang. Baik prosanya maupun puisinya telah mencapai taraf yang tidak kalah dengan prosa dan puisi Indonesia: dalam bahasa, dalam permasalahan.

Membaca karangan-karangan Malaysia mulai terasa keasingan, karena ejaan yang lain, ungkapan-ungkapan yang beda, kiasan-kiasan yang khas, tapi lama-kelamaan setelah terbiasa kita tambah asyik, bahkan merasakan kesegaran dalam penggunaan bahasa yang rada lain dari bahasa Indonesia, tapi dengan permasalahan-permasalahan yang banyak persamaan.

Besar hasrat saya hendak mempelajari kesusastraan Malaysia lebih mendalam dan menulis tentangnya. Bisakah Saudara mengirimi saya bahan-bahan?

Majalah Sastra tahun 1961, 1962, dan 1964 sayang saya tak punya lagi dan tak bisa mengirimkannya kepada Saudara. Tapi saya akan tanyakan pada kawan-kawan, barangkali ada yang punya.

Sekian kabar dari saya.

Selamat Tahun Baru dan minal aidin wal faizin.


Surat Kedua.

Jakarta, 24 Jun 1970

Saudara Yahaya Ismail yang baik,

Pemimpin Dewan Bahasa dan Pustaka telah menghubungi Dekan Fakultas Sastra UI mengenai ijazah Saudara dan bunyi jawabannya seperti salinan yang saya lampirkan bersama ini.

Sebagaimana saya katakan tempo hari, perkara gelar tak usah terlampau dihiraukan, yang penting ialah karya. Biarlah kita membuktikan pentingnya karena kita dan bukan karena gelar kita. Orang mengenal Yahaya Ismail karena buku-buku dan tulisan-tulisannya dan bukan karena diplomanya, bukan? Malahan ada baiknya tidak bersandar pada gelar, tapi selalu berusaha menampilkan karya. Begitulah selalu sikap saya selama ini.

Mengenai ijazah Saudara, jelas disebutkan disamakan dengan ijazah Sarjana Sastra, karena taraf pengetahuan Saudara sama dengan taraf pengetahuan Sarjana Sastra. Hanya karena persyaratan pendidikan formal yang mengkhendaki adanya ijazah sarjana muda tidak terpenuhi, maka diadakan perbedaan formal dengan lulusan biasa Sarjana Sastra yang mempunyai ijazah Sarjana Sastra. Saya kira ini tidak usah mengurangi penghargaan orang terhadap kemampuan ilmiah Saudara.

Kesempatan studi ke Monash University itu baik Saudara pergunakan dan Saudara garap studi perkembangan cerpen-cerpen Indonesia dan Malaysia sesudah Perang Dunia Kedua. Toh kebetulan sekarang Baharuddin Zainal akan membuat studi tentang kritik sastra di Indonesia. Jadi ada pembagian kerja.

Saya gembira skripsi Saudara akan segera diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, tapi apakah perlu saya antar? Saya kira studi itu sudah cukup bicara sendiri.

Perkara Sastra masih jalan terus. Hafil mengucapkan pembelaannya hari ini tanggal 24 Juni, panjangnya 30 halaman, dibacakan satu setengah jam. Untuk repliknya Jaksa minta waktu 8 minggu.

Harap Saudara kirim Dewan Masyarakat yang memuat resensi Saudara tentang Heboh Sastra 1968. Buku itu ternyata jadi bestseller. Dicetak 5000, seluruh proses peradilan, tuduhan dan tuntutan Jaksa, keterangan saksi-saksi ahli, pembelaan tertuduh dan pengacara, dan akhirnya putusan hakim.

Terima kasih atas kiriman buku antologi cerpen Pertentangan.

* * *

Ada banyak lagi surat H. B. Jassin yang terkumpul dalam buku berjudul Surat-Surat 1943-1983 terbitan Gramedia. Ia merupakan bicara kata Jassin dengan penulis-penulis penting di zamannya: Subagio Sastrowardoyo, Nh. Dini, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Pramoedya, Iwan Simatupang, dan ini sekadar mengutip beberapa nama saja. Lagipun, ya, bukankah ini himpunan surat seorang pengkritik? Pasti saja kita mengharapkan ada banyak kiriman surat kepada penulis dalam buku ini. Ternyata ia tidak mengecewakan. Seingat saya, Mana Sikana pernah tulis dalam sebuah buku bahawa pengkritik itu mudah membina kawan dan juga musuh. Barangkali ia tidak ada beza buat Jassin. Namun, dalam membaca surat-suratnya, saya suka untuk membayangkan Jassin sebagai pengkritik yang mudah didekati; pemurah dalam memberikan pendapat (dan mungkin juga pujian); dan sedia memimpin tangan (berbading merentap atau menampar) mana-mana penulis yang datang ke meja kritikannya.

Tetapi kita tahu bukan semua pengkritik adalah begini. Seperti mana ada pelbagai ragam novelis dan penyair, maka ada juga pelbagai jenis pengkritik. Ada yang selesa untuk kita duduk berbual macam seorang kawan; dan ada yang boleh membuat kita rasa hendak mengeluarkan parang atau terjun bangunan selepas membaca kritikannya. Emosi dan peribadi seorang pengkritik itu sentiasa nombor dua bagi saya. Paling penting adalah penguasaan bahasa kritikannya. Bagaimana dengan pembacaan? Ya, ini memanglah penting, kerana bagaimana nak mengkritik kalau tidak pernah membaca? Tetapi ukuran pembacaan itu bukan pada jumlahnya. Seorang pengkritik itu bukan sebuah perpustakaan bergerak. Keseriusan dan keghairahan dia membaca sebuah karya yang akan memastikan pendapatnya bernyawa dan mempunyai nafas untuk menghuni serta merasuk dalam fikiran orang lain. Berapa banyak buku yang Samuel Johnson dan Hazlitt pernah baca? Sedikit saja. Seorang pengkritik yang bagus berfikir melalui bahasa untuk dia berfikir melalui buku.

Sebagai pengkritik, Jassin menampilkan bahasa yang lembut dan sederhana, seolah-olah dia adalah seorang kapten kapal yang sudah masak dengan permainan cuaca di laut. Datang ombak atau ribut, kita tahu dia tidak akan mudah panik dan menukar haluan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan keputusan terbaik buat semua orang. Ada saja pengkritik-pengkritik lain yang kita akan anggap jauh lebih bijak, garang, dan berpengetahuan daripada Jassin, malah itu merupakan kelebihan dan keistimewaan mereka. Kalau kita inginkan medan polemik dan bahasa kritikan yang garang, kita akan membaca kritikan Saut Situmorang. Kalau kita inginkan kelincahan bahasa dan kenakalan mengatur kata di sempadan antara serius dan komik, maka kita boleh masuk ke dalam karnival kritikan Nazim Masnawi. Dan Jassin - ya, dia bukan Saut mahupun Nazim, tetapi tidak boleh dinafikan Jassin itu bijak mengatur makna melalui pendapatnya.

Adakah pujian lebih tinggi saya boleh berikan untuk bapak kepada segala bapak pengkritik dalam lapangan kritikan berbahasa Melayu?
       

Comments

Popular Posts