Catatan Hari Ini (Wiji Thukul)





Catatan Hari Ini

(sajak Wiji Thukul)

aku nganggur lagi

semalam ibu tidur di kursi
jam dua lebih aku menulis puisi
aku duduk menghadap meja
ibu kelap-kelip matanya ngitung utang

jam enam sore:
bapak pulang kerja
setelah makan sepiring
lalu mandi tanpa sabun

tadi siang ibu tanya padaku:
kapan ada uang?

jam setengah tujuh malam
aku berangkat latihan teater
apakah seni bisa memperbaiki hidup?


"The man is only half himself, the other half is his expression."
Ralph Waldo Emerson


Sajak ini bermula dengan premis yang sangat mudah: naratornya nganggur. Ini mengingatkan saya kepada sajak Aan Mansyur berjudul Telur Dadar yang baris pertamanya berbunyi begini: aku sungguh-sungguh lapar. Billy Collins ada menyebut bahawa sebuah puisi itu ibarat sebuah bangunan dengan bait pertama sebagai pintu masuk untuk pembaca. Kalau pintunya mudah, maka mudahlah untuk pembaca masuk ke dalam dan seterusnya menemui bait-bait puisi itu yang mungkin lebih kompleks. Satu lagi perbandingan (juga oleh Collins) ialah kolam renang. Pembaca, atau perenang, mula dengan kawasan cetek sebelum dia berenang ke kawasan lebih dalam sebuah puisi. Kalau awal-awal lagi sudah dalam, maka sudah tentu pembaca akan lemas bukan? Perbandingan santai sebegini memang ada benarnya. Kalau kita membaca sajak-sajak Sapardi, Aan, Wiji Thukul, atau Billy Collins sekalipun, memang kita akan menemui gaya pengucapan yang sederhana. Ini sesuailah dengan bentuk dan subjek kepenyairan mereka yang bertujuan untuk membawa kita lebih dekat dengan objek seharian. Pembaca Indonesia lebih cenderung untuk menjadikan Wiji Thukul itu seorang pejuang nasib masyarakat seperti Rendra dan Taufiq Ismail. Sekali pandang memang sajak-sajak Wiji nampak macam sajak protes. Namun, tidak ada pulak di baris-baris sajaknya itu nada propaganda yang ingin mengajak pembaca membenci orang atau kumpulan tertentu. Sebaliknya apa yang terdapat dalam sajak Wiji ialah suara kemanusiaan yang sangat merendah diri. Dia sendiri mengakui yang sajak-sajaknya itu ditulis hanya untuk melukiskan kehidupan dan orang-orang di sekelilingnya. Kalau memang ya dia menulis untuk tujuan melakukan protes (seperti yang gemar dilakukan oleh para penyair mapan kita di sini) semata-mata, maka akan hilanglah nilai puitika dalam sajaknya seperti yang berlaku pada Rendra dan Baha Zain. Berbanding dengan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Afrizal Malna, sebagai penyair, Wiji Thukul sudah tentu berada di belakang mereka. Namun, apabila membaca Wiji Thukul saya diingatkan bahawa penilaian terakhir yang kita boleh berikan kepada sebuah puisi ialah kualitinya sebagai sebuah puisi. Apabila kita menilai seorang penyair kita bukan sahaja sedang menilainya sebagai seorang manusia, tetapi kita juga pada sama sedang mendengar suara hatinya yang paling dasar. Suara hati seorang penyair ialah suara hati semua manusia. Bahasa puisi atau kata-kata ialah kamar pertemuan antara kita dengan seorang penyair. Sebab itulah dalam satu masa kita boleh membaca puisi Latiff Mohidin sekejap dan kemudian bertukar kepada Shakespeare walaupun kedua-duanya datang dari latar dan zaman berbeza.

Kata-kata mesti merentas waktu. Ia mesti datang ke dalam emosi kita bagai jatuhnya sebuah bintang paling bercahaya.


Comments

Aidil Khalid said…
Azriq,

Ya, saya setuju, sajak Wiji Thukul ini memang menarik. Tapi, saya tidak bersetuju dengan petikan ini:

"...akan hilanglah nilai puitika dalam sajaknya seperti yang berlaku pada Rendra..."

Sajak-sajak Rendra sebenarnya sangat kaya nilai puitika (walaupun ada sesetengahnya yang agak melewah-lewah, tetapi itu bukan pada semua sajaknya), dan saya menjangkakan sajak-sajaknya akan terus dibaca sepanjang zaman kerana nilai puitika yang diseimbangkan dengan makna perjuangan. Justeru sajak-sajak Rendra bukan sekadar cengkerang yang cantik pada luaran, tetapi juga manis pada isi.
Wan Nor Azriq said…
Sajak-sajak Rendra di sini merujuk kepada sajak-sajaknya yang kemudian apabila Rendra mula menulis sajak gaya pamphlet.Sajak-sajak awalnya itu saya pun suka dan memang ada nilai puitika.
safura said…
gambar buku sebagai background menyakitkan mata. letaklah gambar buku sebagai header :)

Popular Posts