Proses Kreatif Pengarang Indonesia


 
Ada dua orang penulis saya pernah berbual tentang proses kreatif. Pertama, Rahimidin Zahari, tetapi saya tidak ingat di mana perbualan itu berlaku. Katanya di Malaysia kita kekurangan buku yang menceritakan proses kreatif pengarang. Lalu masa itu memang kebetulan ada buku proses kreatif yang baru sahaja diterbitkan, tetapi saya tidak pernah nampaknya lagi. Orang kedua adalah Ridhwan Saidi. Kami sedang melepak di McDonald Ampang Park, sudah jauh di tengah malam rasanya. Seperti biasa, dalam perbualan kami, topik akan melompat-lompat antara buku, filem, penerbitan, Moka Ink, kucing, arkitek, Nami, Sufian Abas, fotografi, Kod Misteri, dan proses penulisan novel masing-masing. Antara semua penulis Malaysia saya kenal, hanya Ridhwan Saidi yang berminat untuk mencari bentuk baru dan melanggar klise. Saya kata pada Ridhwan: suatu hari nanti novel akan sangat banyak sehingga pembaca sudah tidak mahu membeli novel. Lalu mereka mencari cerita yang lebih dekat dengan realiti harian mereka iaitu proses kreatif pengarang. Pada masa itu David Markson akan menggantikan Herman Melville sebagai pengarang paling penting dari Amerika. Dalam sastera Amerika Latin, Marquez dan Varga Llosa tidak akan dibaca lagi kerana pembaca akan sibuk membina tugu untuk Enrique Vila-Matas dan Luis Chitarroni.
 
Saya terjumpa semalam sebuah buku proses kreatif pengarang-pengarang besar dari Indonesia (Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang). Andina Dwifatma whatsapp saya yang ada edisi lebih terkini dan lebih lengkap di pasaran. Baguslah, kalau begitu. Tetapi malangnya pembaca Malaysia memang tidak akan dapat membeli apa-apa buku terbaru dari sana (hal sebaliknya juga sama buat pembaca Indonesia). Sementara buku proses kreatif pengarang dari Amerika sentiasa sahaja dicetak dan dapat ditemui di toko buku Kinokuniya. Paling terbaru saya nampak buku edisi kulit keras terbitan New York Review of Books yang menghimpunkan perbualan para pengarang mereka tentang buku dan sastera.    
 
Baik, satu soalan: kenapa penting sangat nak membaca proses kreatif? Bukankah Lawrence pernah nasihatkan kita supaya percaya pada buku dan bukan pengarangnya? Bagi seorang pembaca biasa, nasihat Lawrence boleh sahaja ditelan terus. Tetapi saya juga seorang pengarang seperti Lawrence, dan mana-mana pengarang memang tidak suka hidupnya dibedah dan ditampal macam tubuh Frankenstein. Namun Lawrence lupa bahawa pembaca adalah kanak-kanak dan pembacaan adalah suatu permainan dengan waktu. Kita membaca karya imaginatif kerana ada seorang saintis gila yang tidak pernah membesar dalam diri kita. Dia ingin memiliki semuanya dan dia ingin menjadi semuanya. Termasuk diri pengarang buku itu. Maka kita membaca proses kreatif kerana ingin memahami bagaimana tukang sihir ini telah menjadikan kita seorang putera katak atau ulat beluncas yang menghisap ganja.
 
Dalam buku ini proses kreatif Putu Wijaya adalah antara yang terpanjang dan dia ternyata bermurah hati untuk ceritakan idea di belakang hampir setiap novelnya:
 
"Telegram, Aduh, dan Pabrik saya tulis bersamaan. Telegram saya tulis tidak sampai 3 minggu. Waktu itu saya memungut anak perempuan. Baru berusia dua bulan, dan saya titipkan di Yayasan Sayap Ibu. Saya bayangkan, kalau nanti anak itu besar, di harus tahu bahawa dia anak pungut, daripada tahu dari orang lain. Lalu saya berniat untuk membuat sebuah hadiah, setidak-tidaknya sebuah buku buat dia."
 
A. A. Navis pulak lebih spesifik dalam mengenal pasti sumber inspirasi kepada penulisannya: ada yang datang 1) daripada cerpen orang lain, ada yang datang 2) selepas menonton filem, ada yang datang 3) daripada tingkah laku orang sekeliling, dan ada yang datang 4) daripada cerita orang:
 
"Ide cerpen Robohnya Surau Kami muncul dari cerita Pak M. Syafei tentang orang Indonesia yang masuk neraka karena malasnya. Ide cerpen Pemburu dan Serigala muncul setelah mendengar cerita Dahlan Jambek tentang keadaan Soekarno yang dirongrong oleh serigala di sekitarnya."
 
Paling menarik adalah bagaimana Budi Darma menceritakan idea datang kepadanya hasil daripada angan-angan dan imaginasi:
 
"Saya tidak tahu apakah saya beruntung atau tidak, mempunyai imajinasi yang kadang-kadang ganas dan melonjak-lonjak. Imajinasi adalah sesuatu yang tidak ada, kemudian menjadi ada dalam alam pikiran saya. Mungkin saya beruntung, karena imajinasi adalah salah satu modal kepengarangan saya. Tanpa imajinasi, mungkin saya hanyalah seorang ayah yang baik, seorang dosen yang jempolan, dan seorang pejabat pengurusan tinggi yang dihormati, ini kalau saya boleh menilai diri saya sendiri demikian. Mungkin juga saya tidak beruntung, karena imajinasi saya sering menyiksa, menakutkan, dan nampak mengada-ngada tapi memang ada.
 
Salah satu imajinasi yang pada detik ini sangat ingat dengan jelas terjadi waktu saya naik kereta-api dari Madiun ke Surabaya. Waktu itu saya dalam perjalanan pulang sehabis menyelesaikan perlawatan saya untuk membenahi sebuah perguruan tinggi swasta di Madiun. Entah mengapa, sekonyong-konyong saya seolah-olah melihat sebuah pesawat-terbang, sementara itu saya yakin pesawat-terbang itu sebetulnya tidak ada. Nampaknya otak saya mengada-ngada, akan tetapi pesawat tersebut seolah-olah benar-benar hadir di hadapan mata saya, jauh di sana, di angkasa raya. Saya ikuti pesawat-terbang itu, sampai akhirnya hilang, mungkin menabrak sebuah gunung yang sangat jauh dari pandangan saya.
 
Tentu saja, ketika saya menyetel radio dan membaca koran malam harinya dan beberapa hari kemudian secara berturut-turut, saya tidak menemukan berita mengenai kecelakaan pesawat-terbang. Akan tetapi, pesawat-terbang dalam ingatan saya ini sering datang menggebu-gebu, melonjak-lonjak, dan minta diakui kehadirannya. Akhirnya pesawat-terbang ini menukik ke dalam diri saya, meleburkan diri dengan napas, darah, dan daging saya, menyatu dengan diri saya. Beberapa tahun kemudian, tanpa saya sadari asal-mulanya, pesawat-terbang ini melesat kembali, keluar dari dalam diri saya, dan minta pengakuan eksistensinya dalam beberapa cerpen saya. Cerpen yang langsung menyangkut pesawat-pesawat terbang ini adalah Dua Laki-Laki."
 
Kemudian Budi Darma turut memberi rumusan baik tentang pentingnya imaginasi dalam bekarya:
 
"Bagi saya, kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang pengarang. Makin tajam kepekaan seorang pengarang, makin berkelejatanlah imajinasinya. Dan makin tumpul kepekaannya, makin malas imajinasinya, kemudian mengantuk, kemudian tidur, dan bahkan mungkin mampus."
 
 

Comments

Wan A. Rafar said…
Saya pernah membaca cerpen-cerpen Budi Darma dalam ORANG-ORANG BLOOMINGTON. Memang cerpen-cerpennya agak panjang, tetapi menarik. Sebab itu susah untuk meletaknya apabila sudah mula dibaca. Bahasanya lancar, penceritaannya menarik. Membaca proses kreatifnya tentu akan lebih merapatkan lagi hubungan pembaca dan karyanya.

Popular Posts