Novel Makan Angin: The Cardboard House

Esplanade di Lima Peru

Novel terjemahan Katherine Silver memang selera saya




Kebelakangan ini saya kerap membaca puisi Subagio Sastrowardoyo dan saya ikut berkongsi minat itu dengan seorang sahabat novelis dari Indonesia, Andina Dwifatma, yang juga sangat meminati puisi Subagio. Ada satu puisi Subagio, saya perasan, yang saya tidak pernah membaca sebelum ini. Atau mungkin pernah membaca, tetapi tidak tersentuh atau mengambil serius baris-barisnya. Namun apabila dibaca sekarang ia sangat mengesankan, malah turut berbeza dengan kebanyakan puisi Subagio yang selalunya berbentuk pengakuan. Judulnya adalah Rindu:



Rumah kosong
Sudah lama ingin dihuni
Adalah teman bicara; Siapa saja atau apa

Jendela, kursi
Atau bunga di meja
Sunyi, menyayat seperti belati

Meminta darah yang mengalir dari mimpi


Apabila saya pulang ke apartmen setiap malam, saya pasti melangkah masuk ke sebuah rumah yang kosong. Lalu saya akan duduk diam dalam bicara. Menunggu. Memerhatikan buku di atas meja, di atas lantai, di atas katil, dan di atas rak. Antara buku-buku itu ada yang apabila dibuka akan mengisi setiap ruang kosong rumah ini. Bagai suara hangat senja yang senandung tanpa kata. Buku itu adalah novel makan angin saya. Dari Amerika Latin, novel makan angin saya adalah The Cardboard House oleh Martƭn AdƔn.

Saya turunkan satu bagian daripada novel tersebut:

* * *

The esplanade atop the sea cliff or Barranco, the last stretch on the way to Chorrillos, zigzagging, seascape in relief, carved with a knife, a sailor's toy, so different from the esplanade of Chorrillos: too much light, an excessive horizon, obese sky undergoing the sea's cure. The esplanade of Chorrillos: superpanorama with a fourth dimension: solitude... And the whole sea changes along with the esplanade - this one, a transatlantic cruise; that one, route to Asia; the other, first love. And the sea is one of Salgari's river or Loti's shore, or Verne's fantastic ships, and the sea is never glaucous but rather has pale, colorless zones, lined with the tracks of ducks, full of minute coasts and feeble backgrounds. The sea is a soul we once had, that we cannot find, that we barely remembers as our own, a soul that is always different along every esplanade. And the sea is never the cold and vigorous one that squeezed us, with estival lust, throughout our childhood and our vacations. The esplanade is full of German shepherds and English nursemaids, a domestic sea, family stories, the great-grandfather was captain of a frigate, or a free-booter in the sea of the Antilles, a bearded millionaire. An esplanade lined with ancient gardens of fragile roses and dirty and dwarfed palm tress; a fox terrier barks at the sun; the solitude of the shacks appears at the windows to contemplate noontime; an unemployed worker, and light - the light of the sea, humid and warm. An esplanade with patches of dry grass, tension before first date with a girl we didn't really love; above this esplanade is a varied sky that collides with the over the sea. An esplanade with only one hour of quietude: six o'clock in the afternoon, the two twin skies, one with no chance for continuity, both with same gulls and melancholies.  

* * *

Cuaca musim panas; pantai; suara laut; dan cerita cinta pertama. Apa lagi saya inginkan daripada sebuah novel makan angin?
   

Comments

Popular Posts