Rumah

Di manakah rumah? Saya tanya soalan ini setiap kali pulang ke Alor Setar; saya tanya soalan ini setiap kali saya memejamkan mata dan membayangkan tempat yang selamat dan tenang dalam diri saya. Ada orang membesar dalam keluarga nomad. Berpindah dari pekan ke pekan, dari negeri ke negeri... dari rumah ke rumah. Justeru, mereka tidak membina hubungan intim dengan tempat atau rumah pertama mereka dilahirkan. Barangkali rumah ialah di mana mereka berada sekarang. Kemudian saya menemui puisi John Koethe tentang rumah. Tentang kehilangan. Wajah sebuah tempat yang sudah hilang. 

* * *

Home
Oleh John Koethe 

It was a real place: There was a lawn to mow

And boxes in the garage. It was always summer

Or school, and even after oh so many years

It was always there, like the voice on the tele-

phone

Each Sunday evening. I wondered how it was

going to feel

When I was finally on my own—alone, with no

family left

And no home to gravitate away from or think

through.

I miss the trips I took each year to see my father.

I miss the desert and the ocean and the bunga-

lows,

The drive up to L.A. to visit Rogers, yet all these

feelings—

Are they actually feelings of loss, or just nostal-

gias for a notion?

I live in the same world, I inhabit the same life,

And yet it all seems insignificant and small. All

that’s left

Are the sensations of the empty afternoon, of

feeling resigned

To the way things simply come and go, almost

relieved

To find it almost feels like nothing. It feels like

nothing at all.

* * *

Saya fikir suatu hari nanti baris-baris puisi ini akan menghantui dan menjadi bahagian daripada diri saya. Suatu hari nanti, saya akan pulang, dan mendapati rumah yang saya cari sudah hilang. 


Comments

Popular Posts