Tiga Sajak Deddy Arsya
Saya menemui Deddy Arsya beberapa tahun lalu di Makassar. Saya kira umur kami hampir sebaya (atau memang sebaya); Deddy penyair muda dari Sumatra, sementara saya novelis dari Kuala Lumpur; genre dan latar kami menulis ternyata jauh berbeza, tetapi kami sama-sama meminati puisi Afrizal Malna. Apabila kita menemui penulis dari negara lain, satu cara paling mudah untuk membina persahabatan ialah melalui karya sastera. Ketika berada di Istanbul, saya membina persahabatan melalui karya Enrique Vila-Matas, Tor Ulven, dan Orhan Pamuk. Nama mereka menjadi mata wang pertukaran saya. Tetapi kalau kita tidak rajin membaca karya dari negara lain, bagaimana kita nak orang membaca karya dari negara kita?
Berbalik kepada Deddy. Waktu di Makassar, Deddy belum menerbitkan buku Penyair Revolusioner. Pada 2017 baru saya dapat buku ini daripada Aan Mansyur, seorang lagi sahabat penyair yang saya bertemu dari dalam rumah sastera. Di sebalik suasana desa dan pengalaman pastoral, terdapat ledakkan imaginasi yang luar biasa dalam sajak-sajak Deddy. Kalau Afrizal Malna itu penyair Padang, dan bukannya penyair Jakarta, barangkali beginilah sajak-sajak dia akan tulis. Susunan baris dan rangkap Deddy juga lebih konvensional, malah ada ketikanya dia mengulangi rima akhir yang sama. Antara Padang dan Jakarta, sudah tentu kehidupan di Jakarta lebih kaos, justeru menuntut pelanggaran rima dan pemenggalan baris yang lebih ekstrem. Dan dalam suasana kota yang menekan manusia menjadi objek konsumer, puisi ada waktunya terpaksa menjadi prosa, kerana suara liriknya sudah dibungkamkan.
Saya kongsikan di sini tiga sajak Deddy Arsya yang memberi gambaran tentang kekuatan imejan dan metaforanya. Saya fikir bahasa Deddy masih terang, gelap, terang, gelap, kerdip apinya. Namun apabila ia terang, ia sangat panas, dan membakar emosi kita.
Kancing Baju Tanggal Seluruhnya
Dalam topi lakenmu yang bundar
cakrawala tiba-tiba pudar
bukit-bukit baru tumbuh dari balik kabut seperti payudara
anak gadis tiga belas tahun
ladam kuda memercikkan api di jalan raya, dulu para rodi
bergelimpang mati di situ
tetapi sebentar lagi lampu-lampu toko menyala di
seberangnya menebarkan harum
sabun yang tercium dari leher gadis-gadis baru pulang dari
pemandian air panas
di jalan besar ke pasar kota itu juga
ada kereta api lewat setiap pagi
membawa keranjang-keranjang penuh kampung-kampung
yang terseret
troli ke supermarket, truk-truk tentara penuh muatan pernah
berjalan di atasnya
membawa kamu bercelana pendek belacu memotong garis
demarkasi
kancing bajumu tanggal seluruhnya
ketika angin tiba-tiba gusar
menyumbul pusarmu yang besar, menyumbul hari depan
yang cepat-cepat buyar
rahsia berhamburan keluar seperti kelawar berhamburan
dari mulut gua
pada lantai berderak bunyi jatuhnya bagai derak gigi kereta
api di jalan menanjak
angin dataran tinggi membawa kabut bikin arah tak tampak
ladam kuda berdentang-dentang di jalan raya
hari lalu bergetar di atas tempat tidur
seperti desis ular mendengkur.
Kiamat pada Hari Kamis
Aku malas ke masjid seminggu ini
di masjid aku sering menemukan kerumunan suporter
sepakbola
hari Sabtu, ada malaikat mencabik baju di dadanya sendiri di
situ
payudaranya menyumbul seperti kecambah kacang
para darwis menyembunyikan dirinya dalam firman
hari Jumat, khatib memukul-mukul mimbar
menangisi waktu yang akan selesai
sebab pada hari Kamis kiamat akan datang
sebab itu aku suka membenturkan kepalaku ke lantai
pada keningku akan tumbuh sebuah karcis ke surga
seperti jika kita menonton konser musik di kota
sebab itu aku tak menyiapkan kapal untuk banjir besar yang
akan tiba
setiap hari Minggu hujan deras selalu turun
kau akan berhenti ke gereja
hari ini hari Rabu yang cerah
kalendar Masehi merayakan paskah
tukang pos membawa surat dari neraka untukmu
sebentar lagi akhir dunia, para kawula
aku minta pengampunan pada ibuku
asu, Tuhan ada di antara kerampangmu,
bagaimana mungkin kau akan mendapat pengampunanku
ibuku marah-marah pada sebuah kopiah di kepalaku
seorang haji pulang dari Makah pada hari Senin pagi
aku mendapat jatah kurma dan sekerat doa berkarat
sebidang langit lalu tersibak kabut yang bergumul
dengan hari lalu yang bagai jaring laba-laba
di situ, aku terperangkap bagai nyamuk hilang daya
kehilangan hari Selasa yang entah di mana berada.
Tentang Salida
Ketika anak-anak terbangun malam
ibunya malah mematikan lampu
dan menghidupkan lagu qasidah
pada saat itu aku teringat ladang ayah
di kampung-kampung masa kecilku
yang hanyut ke muara bersama bah
masa lalu serupa orang-orang
berkulit gelap tetapi bermata biru
dulu Peringgi suka berlabuh di pulau ini
menyisir lepas pantai dan ke darat dengan sekoci
dan kembali dengan iring-iringan pedati padat-penuh
mengupah sais-sais setempat mengangkut lumpur
mengandung
surai-surai emas
akar-akar kuarsa
ke teluk ini
tempat penyu-penyu datang
membuat lubang-lubang pasir.
Ketika anak-anak terbangun lama
mereka mencari-cari rambut ibunya
ketika terjaga malam, aku mencari-cari rambut istriku
mengelus-ngelusnya mesra bagai itu hutan masa lalu
yang dibawa berlayar
kapal berlambung besar.
Comments