5 Puisi Terbaik 2023


Saya lebih ingat eceran puisi berbanding kumpulan puisi kerana sukar untuk menemui kumpulan puisi yang dapat meninggalkan kesan mendalam. Kadang-kadang puisi yang enak dibaca secara eceran boleh kehilangan magik dan kelihatan biasa apabila berada dalam kumpulan puisi. Tapi itu perbicangan lain. Saya yakin ada lebih daripada lima buah puisi bagus saya telah baca sepanjang tahun. Namun lima buah puisi ini yang paling mengagumkan dan imaginasi penyairnya menghantui saya selama berhari-hari. 

Hari Jadi 2021
Oleh Rosli K. Matari 

harijadiku
sederhana sahaja
kugoreng telur

kurenung
usiaku semakin habis
mengapa harus gembira?

tiada ucapan dan lagu
yang kudendangkan hanya
- - da di du

dan tiada lilin
kerana aku tidak suka
cahaya dipadamkan 


Bahasa mudah, sederhana, tanpa metafora berlebihan, namun jelas apa yang penyair ingin lukiskan dalam fikiran kita. Apa lagi kita nak? Fokus pada satu imej dan main dengan imej itu (nasihat yang ramai penyair muda dan tua tidak ambil peduli). Jangan biar lilin terpadam; jangan biar muzik berhenti bernyanyi. 


Newspeak
Oleh Galeh Pramudianto 

aku ingin berbahasa
untuk menyampaikan dunia 
yang dirundung kesedihan
karena

dunia akan berakhir beberapa saat lagi
saat kau bertanya tentang kapan
dan di mana kita bertemu
tentang kata-kata
tak pernah bisa diucap
tentang kerangkeng di tubuhmu
dan plester di mulutmu
tentang kamera selalu
mengintai kegiatanmu
karena

bahasa paling menyedihkan adalah
ada teriakan di dalam gua
dan tak pernah terdengar gemanya.


Di Eropah sekarang ada gerakan yang disebut sebagai Pause AI. Pelopornya, Joep Meindertsma, ingin menggesa agar dunia berhenti sejenak dan mempertimbangkan masa depan kemanusiaan dengan kebangkitan teknologi AI. Ketika membaca puisi ini, saya terfikir adakah suatu hari nanti bahasa sebenar manusia akan tinggal gema di dalam gua. Tubuh manusia terurai menjadi debu. Sisa kewujudan kita berlegar sebagai bahasa percakapan teknologi maya yang kita sendiri telah cipta. 


Zito the Magician
Oleh Miroslav Holub

To amuse His Royal Majesty he will change water into wine. 
Frogs into footmen. Beetles into bailiffs. And make a Minister
out of a rat. He bows, and daises grow from his finger-tips.
And a talking bird sits on his shoulder.

There.

Think up something else, demands His Royal Majesty. 
Think up a black star. So he thinks up a black star. 
Think up a dry water. So he thinks up dry water. 
Thinks up a river bound with straw-bands. So he does. 

There.

Then along came s student and asks: Think up sine alpha
greater than one.

And Zito grows pale and sad: Terribly sorry. Sine is 
between plus one and minus one. Nothing you can do about 
that.
And he leaves the great royal empire, quietly weaves his way
through the throng of courtiers, to his home

in a nutshell. 


Apabila saya cuba membayangkan sains dan puisi bersenyawa menjadi satu makhluk indah, maka saya akan fikir tentang puisi-puisi Miroslav Holub. Sekali lagi, ini contoh sebuah puisi yang mudah dan sederhana bahasa, namun kaya dengan imaginasi dan humor nakal. Selain itu, saya kira ia contoh bagaimana sebuah puisi prosa patut ditulis: memandu pembaca di atas bahtera naratif tanpa melupakan perca-perca bintang yang berguguran dari angkasa. 


Song
Oleh James Schuyler

The light lies layered in the leaves. 
Trees, and trees, more trees.
A cloud boy brings the evening paper:
The Evening Sun. It sets.
Not sharply or at once
a stately progress down the sky
(it's gilt and pink and faintly green)
above, beyond, behind the evening leaves
of trees. Traffic sounds and
bells resound in silver clangs
the hour, a tune, my friend
Pierrot. The violet hour:
the grass is violent green.
A weeping beech is gray,
a copper beech is copper red.
Tennis nets hang
unused in unused stillness.
A car starts up and
whispers into what will be night.
A tennis ball is served.
A horsefly vanishes.
A smoking cigarette.
A day (so many and so few)
dies down a hardened sky
and leaves are lap-held notebook leaves
discriminated barely
in light no longer layered. 


Sebuah adikarya tentang bagaimana nak menyusun rima dalam satu baris (lihat baris pertamanya, "The light lies layered in the leaves," terlalu indah, ibarat merendam tangan ke dalam air yang suam). Kita selalu kata puisi menyanyi. Namun puisi juga melihat. Puisi melihat waktu. Dan kita merasai kehilangannya. 


Mencari Anak Baju Merah
Oleh A. S. Amin

Semalam sinarnya lama dibawa
antara titik hati dan darah manusia
betapa pucatnya bulan di langit
dilanda hidup yang sengit.

Jauh sudah kita berada
darah menyirap ke muka
putihnya sejauh mata.

Pulangnya di pertengahan daerah
gelap mega berkentalan
bercita si burung undan.

Anak berbaju merah
anak berbaju merah. 


Saya sengaja memilih puisi lama ini kerana, selain ingin terus mengangkat nama A. S. Amin, saya masih merenung dan berfikir setiap apakah tujuan penyair mencipta stanza terakhir itu: "Anak berbaju merah/anak berbaju merah." Ia seakan-akan terpisah daripada keseluruhan puisi, tapi tanpanya, puisi akan kehilangan emosi. Misteri puisi ini sama seperti puisi Wallace Stevens di mana penyair "mengejar harimau/dalam cuaca merah." Saya juga masih mengejar A. S. Amin. Beliau sentiasa di hadapan kita.
   

Comments

Popular Posts