Penyair Yang Lari Bersembunyi Dalam Koleksi Puisinya


"Khuldi adalah sebuah naskhah yang mengimbau. Hasil menung panjang tentang perilaku manusia yang menghuni di belukar konkrit," tulis Adam Aizat untuk kata pengantar buku puisinya. Ia merupakan hasil "menung panjang" buat penyair, namun selepas saya membaca buku ini beberapa kali, renungan itu tidak sampai kepada saya. Kadang-kadang renungan seorang penyair bukanlah profound dan mendalam sangat. Kita mudah tertipu dengan idea bahawa puisi mesti mempunyai makna tersirat dan berlapis-lapis emosinya. Ia seolah semua puisi mesti meronta-ronta seperti tulisan Chairil Anwar. Puisi bukan bantal peluk, puisi bukan "sigaret" Gudang Garam, puisi bukan sejadah untuk menumpahkan air mata. Dan puisi bukan tempat untuk penyair menyembunyikan kelemahan dirinya. 

Di bahagian awal Khuldi kita menemui sebuah sajak pendek berjudul "mengusir lampau" yang saya kira memberi gambaran kasar mood dan tekstur penulisan Adam:


seteguk
kafeina
sebalut
tembakau

buat bara
berjaga
menghalau 
lampau. 

Tidak syak lagi penyair kita ini seorang manusia sepi, nostalgia, dan sering tenggelam dalam lamunan emosi. Apakah memori yang ingin dilupakan sehingga perlu "mengusir lampau" daripada baris-baris puisinya? Kita tidak pernah tahu secara jelas. Adam hanya melukiskan samar-samar memori tersebut. Ada ketika ia datang menjelma secara sureal seperti dalam sajak "sapi dan serigala." Ada ketika ia datang menjadi rupa seorang gadis seperti dalam sajak "untuk gadis yang seringkali ditinggalkan." Ada ketika ia datang menjadi suara Tuhan yang penyair cuba gambarkan dalam sajak "ampunkan aku (Tuhan)." Saya mengeluh panjang baca judul sajak ketiga itu dan rasa nak pecahkan tingkap bilik dengan buku puisi Adam. Tetapi mujur ada stanza dalam sajak itu yang menyelamatkan keadaan:


tuhan, ampunkan aku
bila aku kurang gemar dengan kelas tambahan
kerana guruku pernah mencemuh 
'syair tidak bisa membangunkan rumah'
guru engkau perlu tahu
syair (menurutku) bakal meruntuhkan
apa yang telah kau bina selama ini.      


Secara teknikal, ini bukan stanza yang bagus. Kalimatnya tidak padat dan nadanya mendatar. Namun kita dapat rasa kegelisahan seorang anak muda yang ingin menulis tetapi diasingkan oleh orang sekeliling. Dilema sama kita turut temui dalam sajak berjudul "engkau yang memanggilku pulang" yang merupakan salah satu sajak terbaik buku ini. Sekali lagi baris sajak Adam diterangi oleh remang nostalgia dan beban kedukaan:


khuatir jua aku pun
untuk berkelana jauh
konon demi mentafsir keunggulan puisi
sedang keberadaan cumanya sementara.

engkau yang memanggilku pulang
seakan berdoa nadamu, serupa ombak
bergesit tunjal ke langit. 


Barangkali inilah renungan hidup paling jauh yang Adam Aizat mampu tawarkan kepada pembacanya. Dia baru nak hembus bau kopi dan asap sigar ke muka kita, tetapi datang mengacau bunyi bising daripada sajak-sajak urbannya yang klise. Apabila Adam kata dia ingin "memanjat atap rumah" dan "telanjang," saya terus ingat sajak-sajak awal Baha Zain. Tetapi sudah berapa banyak sajak pengakuan ditulis dalam sejarah puisi negara ini? Sudah berapa banyak sajak tentang keterasingan seorang lelaki di tengah kota? Sudah berapa banyak sajak tentang aku, aku, aku.... melawan dunia dalam diri aku? Terlalu banyak barangkali. 

Terlalu banyak puisi dijadikan rumah tumpangan untuk penyair menyembunyikan diri. 
 

Comments

Popular Posts