Memori: Ingatan Sentimental Sebuah Cerita



"It was on such a day in the early thirties that I found myself, all my senses wide open, on one of Fialta's steep little streets, taking in everything at once, that marine rococo on the stand, and the coral crucifixes in a shop window, and the dejected poster of a visiting circus, one corner of its drenced paper detached from the wall, and a yellow bit of unripe orange peel on the old, slate-blue sidewalk, which retained here and there a fading memory of ancient mosaic design. I am fond of Fialta; I am fond of it because I feel in the hallow of those violaceaus syllables the sweet dark dampness of the most rumpled of small flowers, and because the altolike name of a lovely Crimean town is echoed by its viola; and also because there is something in the somnolence of its humid Lent that especially anoints one's soul."
(Dipetik dari cerpen Vladimir Nabokov Spring In Fialta)

"At Oreanda they sat on a bench not far from the church, looked down at the sea, and were silent. Yalta was barely visible through the morning mist; while clouds rested motionlessly on the mountaintops. The leaves did not stir on the trees, cicadas twanged, and the monotonous muffled sound of the sea that rose from below spoke of peace, the eternal sleep awaiting us. So it rumbled below when there was no Yalta, no Oreanda here; so it rumbled now, and it will rumble as indifferently and as hallowly when we are no more. And in this constancy, in this complete indifference to the life and death of each of us, there lies, perhaps, a pledge of our eternal salvation, of the unceasing advance of life upon earth, of unceasing movement towards perfection. Sitting beside a young woman who in the dawn seemed so lovely, Gurov, soothed and spellbound by the magical surroundings - the sea, the mountains, the clouds, the wide sky - thought how everything is really beautiful in this world when one reflects every thing except what we think or do ourselves when we forget the higher aims of life and our own human dignity."
(Dipetik dari cerpen Anton Chekhov The Lady with the Little Dog)


*
Semakin meningkat usia seseorang itu semakin banyak ingatan hidupnya yang ditolak ke tepi atau dilupakan terus; namun, pada masa sama, semakin kuat dia menolak semakin kuat juga rasa rindu dan cinta mulai tumbuh dalam dirinya. Seperti bayang yang hilang di waktu senja. Kita membunuh diri kita setiap hari untuk hidup semula keesokkannya. Diri atau bayang yang mati itu boleh dibiarkan berkubur begitu sahaja. Atau ia boleh dihidupkan semula menjadi kata-kata.

*
Di Indonesia kata-kata sudah dianggap mati. Danarto dengan puisi konkrit berbentuk segi empatnya. Sutardji dengan mantranya. Afrizal dengan objek-objek hariannya. Remy Sylado dengan puisi mbelingnya. Menurut Remy, kata-kata bukan lagi sekadar barang permainan seorang penyair, tetapi ia juga objek jenaka yang boleh dipijak sesuka hati: "Bukan seni yang harus dijunjung. Seni harus diletakkan di telapak kaki." Soalan yang kita boleh tanya kembali padanya ialah adakah seni kepenyairan Chairil Anwar itu boleh diletakkan di telapak kaki? Bukankah kata-kata dalam puisinya itu bernafas dan hidup seperti seekor binatang jalang yang kalau dikurung atau dipijak akan memberontak dan membaham kita kembali? Bukankah dari dasar dengupan jantung binatang jalang itu juga telah lahirnya sastera Indonesia dan angkatan penyair besar seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Sutardji Calzoum Bachri sendiri? Barangkali penyair-penyair Indonesia sudah bosan mencuba untuk menumbangkan binatang jalang bernama Chairil Anwar ini lalu mereka membunuh kata-kata dengan harapan ia akan turut membunuh Chairil dari dalam. Tetapi adakah dengan hanya membunuh makna, maka kata-kata akan terus mati?

*
Pada 24 April 1852, Flaubert menulis surat ini kepada kekasihnya Louise Colet:

"I've imagined a style for myself... a beautiful style that someone will write some day, in ten years time maybe, or in ten centuries. It will be as rhythmical as verse and as percise as science, with the booming rise and fall of a cello and plumes of fire."

Jika ada satu surat dari Flaubert yang boleh dijadikan sebagai menara api yang menerangi laluan para penulis fiksyen moden untuk pulang ke asal usul bahasa penulisan mereka, maka surat itu ialah yang saya baru turunkan di atas. Penulisan fiksyen moden lahir dari kredo atau kaedah penulisan Flaubert yang menggabungkan puisi dan sains.

Lima tahun kemudian pada 12 Disember 1857, setelah novel Madame Bovary diterbitkan, Flaubert menulis surat ini kepada salah seorang peminatnya:

"You say that I pay too much attention to form. Alas! it is like body soul: form and content to me are one; I don't know what either is without the other."

Gaya bahasa itu ialah sastera. Dan setiap gaya bahasa itu ada corak yang menceritakan dari tradisi manakah ia datang. Sama ada seorang penulis itu menulis secara realisme konvensional (ia konvensional kerana teknik penulisan Flaubert itu sudah digunakan dengan kerap hinggap ke tahap klise), atau dengan gaya yang padat dengan permainan bahasa (Nabokov, Joyce, Perec), dia tidak akan pernah terpisah daripada tradisi, dan paling penting, dia tidak akan terpisah daripada mengungkapkan pandangan hidup dan suara emosinya.

Gaya bahasa ialah pintu ke dalam memori seorang penulis. Ia adalah ingatan dengan tangga-tangga naratif yang bersilang-silang.

Masalah dengan metafora ini ialah apabila tangga-tangga yang bersilang-silang itu menyebabkan kita lupa akan sesetengah benda dalam memori kita. Seperti buku di atas rak yang terselit di celah buku-buku yang lebih tebal dan popular lalu ia hilang dari pandangan pembaca.

Sastera memang kaya dengan buku-buku terpinggir yang lenyap pada suatu zaman dan muncul semula di zaman lain. Ya, zaman mungkin mengubah manusia, tetapi setiap perubahan sentiasa membawa sisa-sisa dari masa dahulu.

Ia hanya menanti untuk diparodikan.

*

Baru-baru ini saya menemui sebuah kedai buku terpakai bernama Junkbook Store di Jalan H. S. Lee. Bangunannya tiga tingkat dengan sebuah perpustakaan berkunci di tingkat paling atas yang menurut pengurus kedai itu, menyimpan koleksi komik, majalah, dan buku eksotik. Saya bersama Aidil Khalid hanya naik sampai ke tingkat dua; itupun sudah banyak buku sastera dunia edisi lama yang memikat saya. Semua buku dibalut plastik seolah-olah berada dalam kapsul kedap udara bagi pengembaraan merentas masa. Novel yang saya beli, misalnya, berjudul Confessions of Zeno oleh Italo Svevo, telah merentas masa selama tiga puluh lapan tahun dari simpanan pemilik asalnya untuk sampai ke tangan saya. Pengembaraan sebuah buku, saya kira, adalah seperti pengembaraan minda seorang manusia - ia melompat-lompat antara masa silam dengan masa sekarang.

"Everyone remembers his past with greater vividness as the present becomes important."

Ini adalah antara pengakuan Zeno dalam diarinya Namun, setiap pengakuan yang dibuat oleh Zeno dalam novel ini sukar untuk dipercayai kerana dia secara sedar mengakui dirinya sebagai seorang penipu. Kita diajak untuk bersama membina sejarahnya yang mungkin berdasarkan fakta di satu tempat dan mungkin rekaan sahaja di tempat lain. Terdapat satu bab di mana Zeno telah memberikan, tanpa di sedari, metafora kepada proses pergerakkan mindanya, dan pada masa sama, proses perjalanan naratif novel ini:

"While I sit writing, or rather engraving these tragic memories on my paper, I realize that the image that obsessed me at the first attempt to look into my past - the image of an engine drawing a string of coaches up a hill - came to me for the first time while I lay on the sofa listening to my father's breathing. That is just what engines do when drawing an enormous weight: they emit regular puffs, which then become faster and finally stop altogether; and that pause seems dangerous too, because you listen you cannot help fearing that the engine and the train must go tumbling head over heels down into the valley. How curious that is! My first real effort to remember had carried me back to the night that was the most important in my life."

Masalah dengan memori atau sejarah seorang manusia ialah ia sentiasa kelihatan kabur. Seperti sebuah keretapi yang menarik muatan gerabak yang terlalu berat. Ingatan kita terpaksa berkerja keras. Kadang-kadang cara yang lebih baik ialah membiarkan minda kita berlari liar. Kadang-kadang kita memerlukan chaos dalam hidup kita. Dan kadang-kadang kita perlu mencipta metafora bagi menerbangkan minda melepasi batas-batas realiti.

*

Susah hendak mencipta metafora sekiranya memori kita penuh dengan kata-kata klise. Lebih susah untuk menulis sebuah cerita tanpa kekuatan metafora dan bahasa yang segar. Buat Seno Gumira Ajidarma kata-kata sudah tidak mempunyai kekuatan untuk mengungkapkan emosi manusia, terutama sekali rasa cinta, seperti yang diceritakannya dalam cerpen berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku:

"Kukirimkan sepotong senja itu untukmu Alina, dalam amlop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina."

Metafora ialah pandangan hidup. Metafora ialah ungkapan diri kita. Dalam kata lain, metafora itu ialah seni. Metafora hadir kepada kita dalam bentuk kata-kata. Buat seorang penyair ia menjadi lebih mustahak kerana dia membaca dan menyanyikan inspirasinya melalui kata-kata atau metafora. Dan antara semua cerpenis di Indonesia mahupun Malaysia, Seno Gumira Ajidarma ialah yang paling kuat membina naratif melalui metafora. Seperti Flaubert, Seno memandang alam di sekelilingnya melalui mata seorang penyair. Membaca cerpen-cerpen terbaik Seno ialah menjadi Alina kepada Seno; dia menghadiahkan kepada kita sepotong metafora dalam sampul yang siap dengan sebuah cerita sentimental dari tempat yang paling sunyi di dunia. Inilah kekuatan Seno sebagai cerpenis. Tetapi, perlu ingat, kekuatan ini juga yang selalunya menjadi kelemahan dalam sesetengah cerpen Seno. Ia berlaku apabila Seno hanya menekankan pembinaan bahasa puitis dan mengabaikan pembinaan naratif. Ia berlaku apabila Seno lebih berminat untuk membangkitkan sentimentaliti pembaca berbanding membawa pembaca lebih dekat dengan kehidupan. Ia berlaku - seperti yang berlaku pada Afrizal dan Sapardi - apabila Seno memilih untuk menjadi seorang penyair yang menulis sebuah cerita, berbanding menjadi seorang cerpenis yang menulis sebuah cerita.

Manusia-manusia dalam dunia Seno itu melintas depan mata kita bagai garis senja yang terindah, namun sebelum kita sempat menangkapnya ia sudah hilang. Ia tidak kekal dalam ingatan kita.

Berbanding dengan Seno, bahasa Anwar Ridhwan itu lebih sederhana, ekonomis, dan moden. Seperti Shahnon Ahmad, Anwar berminat dengan apa yang berlaku dalam minda watak , dan ini dilukiskan melalui penggunaan bahasa, yang mungkin tidak puitis, tetapi ternyata tepat dan jelas. Dan seperti Shahnon Ahmad juga, Anwar itu sentiasa dinamik. Dia menawarkan kepada kita gaya penulisan berbeza dalam setiap cerpennya. Ini boleh dilihat dalam buku kumpulan cerpennya berjudul Sangkar dengan Dunia Adalah Sebuah Apartmen sebagai cerpen terbaik.

*

"Agnes: Telah aku lihat dan rasai hidupmu di apartmen Jaffe Road itu. Tak ada belas kasihan dan kedamaian. Apakah cintamu telah berakhir di apartmen itu. Kapal terbang, kenapa terlalu lewat.

Jari: Kini kau telah hilang ketar. Mata melihat landasan jauh tepi laut yang datar. Kapal mendarat dan bertolak. Di pelabuhan, kapal-kapal tak bergerak.

Begku terlalu banyak. Apakah yang kuisi dan bawa. Cenderamata untuk Tini dan Mimi atau kisah-kisah dari apartmen tinggi? Kapal telah sampai. Bibir: Kenapa ketawa. Hentikan ketawa itu. Gigitlah bibir.

Engkau Agnes, bagaimana? Bila nanti pulang dari kuliah aku telah tidak ada? Tidak ada di kamarmu. Tidak ada di apartmen itu. Tidak ada di airport ini? Lantai: Kalau nanti dia ke mari, katakan aku telah pulang dan tidak datang ke mari lagi. Aku hanyalah sebuah angan-angan."
(Dipetik dari cerpen Anwar Ridhwan Dunia Adalah Sebuah Apartmen)

Tujuan seni ialah untuk membuka ruang baru dalam diri seorang manusia. Seperti sebuah apartmen; ia adalah sebuah dunia baru yang menghubungkan masa sekarang dengan masa silam kita. Ruang ini ialah bahasa. Ia dicipta terlebih dahulu oleh seorang penulis dan kemudian diciptakan semula oleh seorang pembaca. Cerpen Anwar Ridhwan ini mengingatkan saya kepada Georges Perec - seorang lagi penulis yang membina dunia sebuah apartmen - yang mendapat inspirasi buat novel Life A User's Manual dari lakaran kartun Saul Steinberg berjudul The Art of Living. Dalam lakaran ini Saul menggambarkan sebuah apartmen tiga tingkat dengan setiap isi rumah bersama penghuninya dilukiskan secara terperinci. Berdasarkan lakaran ini, Georges Perec membuat perancangan kasar untuk novelnya:

9 rooms where the floor is no doubt covered with moquette
3 rooms with tiles floors
I interior staircase
8 pedestal tables
5 coffee tables
5 small bookcases
I shelf full of books
2 clocks
5 chest of drawers
2 tables
I desk with drawers with blotting-pad and inkwell
2 pair of shoes
I bathroom stool
II upright chairs
I leather briefcase
I dressing gown
I hanging cupboard
I alarm clock
I pair of bathroom scales
I pedal bin
I hat hanging on a peg
I suit hanging on a hanger
I jacket hanging on the back of a chair washing drying
3 small bathroom cabinets
several bottles and flasks
numerous objects hartd to identify (carriage clocks, ashtrays, spectacles, glasses, saucers full of peanuts, for example)

Anwar Ridhwan ialah seorang penulis moden: dia membataskan naratif pada sumber memori seorang watak. Untuk Georges Perec, dunia sebuah apartmen itu sendiri lebih penting. Membaca novel Perec ialah seperti membaca iklan sebuah majalah: biografi manusia digantikan dengan deskripsi terperinci objek harian sebuah apartmen. Perec sebenarnya bukanlah penulis Perancis pertama yang mencipta novel melalui dunia sebuah apartmen. Pada tahun 1795 Xavier de Maistre telah menerbitkan novel berjudul A Journey around my Room yang mengisahkan pengembaraan empat puluh dua hari seorang lelaki di dalam bilik tidurnya. Novel ini, bersama novel Machado de Asis Epitaph of a Small Winner, ialah antara novel yang terpinggir dalam sejarah sastera dunia.

*

"Once you've left my armchair, walking towards the north, you come into view my bed, which is placed at the far end of my room: it's a most agreeable sight. It is situated in the most pleasant spot imaginable: the first rays of the sun come to disport themselves on my bed curtains - I can see them, on fine summer days, advancing along the white wall as the sun slowly rises: the elm tress outside my window break these rays in a thousand different ways, and make them sway on my pink and white bed, which sheds the charming hue of their reflections on every side."
(Dipetik dari novel Xavier de Maistre A Journey around my Room)

Penulisan gaya avant-garde sebegini tentang sebuah ranjang memang bukan aneh untuk kita temui dalam karya penulis abad kedua puluh seperti Joyce, Nabokov, Clezio. Tetapi dalam karya penulis abad kelapan belas? Saya rasa Xavier de Maistre sendiri tidak pernah berniat untuk menulis sebuah novel eksperimental. Ia ditulis pun ketika dia dijatuhkan hukuman berkurung di dalam rumah selama empat puluh dua hari atas suatu kesalahan jenayah. Saya suka untuk membayangkan Borges melakukan pengembaraan sama seperti Maistre dalam memorinya. Ia akan berbentuk sebuah perpustakaan dengan jumlah rak dan buku yang infiniti. Sebagai pembaca, kepada buku orang lain dan juga buku ingatan sendiri, kita akan sentiasa kembali kepada buku-buku sama yang kita telah baca. Paradoksnya ialah pembacaan kita tidak akan pernah berakhir, dan setiap pengulangan pembacaan akan mencipta sebuah buku untuk ditambah di dalam perpustakaan memori kita.

Seorang pembaca - dan juga seorang penulis - ialah pustakawan seumur hidup kepada memorinya.

*

Keindahan ialah ingatan paling kuat dalam memori kita. Ini ialah juga antara tujuan seni diciptakan iaitu untuk memberikan keindahan pada mata dan hati seorang manusia. Ia adalah perasaan yang kita rasa apabila pertama kali menatap lukisan Cezanne atau Monet. Ia adalah perasaan yang kita rasa apabila pertama kali mendengar Bach atau Debussy. Ia adalah perasaan yang kita rasa apabila pertama kali membisikkan dalam hati bait-bait terindah dari puisi Sapardi Djoko Damono atau Zurinah Hassan, walaupun kedua-duanya menyanyikan warna emosi yang berbeza. Ia adalah perasaan membaca Marcel Proust dan Alice Munro dan menemui cinta dan kehidupan melalui watak mereka. Dan - sudah tentu - ia bukan perasaan sama yang kita rasa apabila membaca karya penulis indie atau underground yang, nampak gayanya, sangat mendewakan cinta dan kejujuran perasaan seolah-olah hanya mereka sahaja manusia-kota-keparat yang pernah patah hati dan menghisap rokok dalam kesepian. Biarlah; abaikan sahaja. Seperti kita patut abaikan sahaja - mengikut saranan para mob-boss dunia underground - penulis-penulis yang "masih menulis dengan DBP." Terserahlah.

Kesedaran terhadap keindahan suatu objek seni, orang selalu kata, ialah hal yang subjektif. Ini juga premis yang sering digunakan apabila - kononnya - ingin meraikan kepelbagaian pendapat dan variasi dalam seni. Keterbukaan tanpa batasan itu dilihat sebagai demokratik. Taste itu pula dilihat sebagai autokratik. Malah buat kebanyakkan peminat seni, asal usul penciptaan objek seni itu sendiri tidak penting. Mereka kalau boleh tidak ingin tahu pun bagaimana ia boleh menjadi bentuk yang cantik dan harmoni seolah-olah kalau misteri itu terbongkar, kenikmatan mereka terhadap objek seni itu akan hilang. Ia ibarat teknik silap mata yang pada asalnya sangat memukaukan kita, tetapi kemudian hilang daya pukaunya - hilang keseniannya - apabila rahsia silap mata itu didedahkan. Dan memang sudah menjadi suatu norma dalam masyarakat kita apabila sebuah filem itu dipuji kerana "ia seram gila" atau "heronya handsome;" atau apabila sebuah lagu disukai kerana "ia lagu indie" atau sebab "aku tengah patah hati jadi aku memang feel lagu ni;" atau apabila sebuah buku dipuji sebab "ia ditulis oleh Zaid Akhtar, mesti bagus, jadi aku sukalah" atau sebab "aku miserable dan penulis ini pun miserable macam aku, jadi aku mesti angkat semua karya dia sebab dia dan aku ialah orang sama." Begitulah suara-suara sebuah dunia seni yang demokratik.

Dalam novel Don Quixote, ada satu babak - seperti keseluruhan novel itu sendiri - yang mempersendakan secara komedi tentang daya sensitif kebanyakkan orang terhadap suatu objek seni. Teman pengembaraan Don Quixote, Sancho Panza, menceritakan tentang saudara-maranya yang diminta untuk rasa minuman wine yang dikatakan sangat bagus. Wine itu disimpan di dalam satu tong besar dan masing-masing mula minum Seorang kata wine itu sangat bagus dan terdapat sedikit rasa kulit binatang. Seorang lagi kata ia memuaskan tetapi merungut akan rasa besi yang agak tepu. Tuan rumah mereka ketawa mendengar penjelasan ini. Selepas tong itu kosong ditemui sebentuk kunci yang diikat pada sekeping kulit di dasarnya.

Henry James menasihatkan bahawa novelis ialah seorang penulis " on whom nothing is lost." Ia juga ialah antara kredo penulisan realisme. Ia menuntut penulis untuk melihat alam di sekelilingnya dengan lebih halus. Bila kata halus maksudnya dia harus tahu untuk mendengar suara intuisi dan bisikkan hatinya dan dari situ memilih objek-objek alam yang dia fikir dapat mengungkapkan dirinya dengan jelas kepada pembaca. Dan untuk pembaca sendiri pun ini ialah antara tuntutan sebuah karya realisme. Ia mengajar kita untuk membukakan mata terhadap kehidupan. Ia mengajar kita untuk meniliti dan menghargai benda-benda kecil yang kita mungkin tidak pernah pandang sebelum ini. Ia mengajar kita untuk menjadi penyair supaya kita menjadi lebih dekat dengan diri kita yang juga merupakan diri kepada setiap manusia.

Mencari keindahan ialah keinginan asas semua manusia. Namun sebelum kita mencarinya kita mesti terlebih dahulu bersedia untuk membukakan hati kepada kehidupan.

*

Kesedaran kita terhadap keindahan hidup boleh datang pada bila-bila masa. Ini sering mengingatkan saya pada watak Nikolai Rostov dalam novel Leo Tolstoy War and Peace. Budak bangsawan ini baru pertama kali turun ke medan perang dan diarahkan untuk membantu meletupkan jambatan di Sungai Danube bagi menghalang kemaraan tentera Napoleon. Beginilah suasana di atas jambatan itu:

"Rostov, preoccupied by his relations with Bogdanich, had paused on the bridge, not knowing what to do. There was no one to hew down (which had always been his idea of a battle), nor could he help to fire the bridge, because he had not provided himself with burning straw like the other soldiers. He was standing there looking about him when suddenly he heard a rattling on the bridge as though someone were scattering hazel nuts, and the hussar nearest him fell against the parapet with a groan. Rostov ran up to him with the others. Again there was a cry of 'Stretchers!' Four men seized the hussar and began lifting him.

'O-o-o-h! For Christ's sake let me be!' shrieked the wounded man, but nevertheless he was lifted and laid on a stretcher.

Nikolai Rostov turned away and, as if searching for something, started to gaze into the distance, at the waters of the Danube, at the sky, at the sun. How beautiful the sky looked, how blue and calm and deep! How brilliant and majestic was the setting sun! How tenderly shone the distant waters of the Danube! And fairer still were the purpling mountains stretching far away beyond the river, to the convent, the mysterious gorges, the pine forests veiled in mist to their summits... There all was peace and happiness. 'I should wish for nothing, wish for nothing, for nothing in the world, if only I were there,' thought Rostov. 'In myself alone and in that sunshine there is so much happiness, while here... it is groans, suffering and confusion, hurry... I shall run with the rest, while death, death is all above me and around me... A moment more and I shall never see this sun, this river, that gorge again... ' "

Kesedaran atau yang disebut oleh James Joyce sebagai epiphany datang kepada Nikolai di saat dia sudah berada dekat dengan maut. Untuk sedetik waktu, hatinya terbuka pada keindahan alam. A. Samad Said pernah menyebut bahawa dia ingin menulis sebuah novel epik seperti War and Peace. Barangkali itu yang cuba dilakukannya dalam Salina. Tetapi kalau saya ikatkan petikkan novel Tolstoy ini pada kaki novel Salina dan campakkannya ke tengah laut, Salina akan jatuh ke dasar dan tidak muncul lagi di permukaan.

*

Penggunaan bahasa yang sederhana ialah persamaan antara Anton Chekhov dan Anwar Ridhwan. Perbezaan mereka - yang menjadikan Chekhov itu genius dan Anwar hanya nombor dalam senarai penulis aliran Chekhovian - ialah penciptaan watak. Chekhov, seperti Shakespeare, mencipta manusia; Anwar hanya mencipta bayang di atas kertas. Namun, berapa ramaikah cerpenis, mahupun novelis, beraliran realisme yang memang mempunyai kekuatan sama dengan Chekhov? Tolstoy, Flaubert, Alice Munro, Grace Paley ialah segelintir nama yang boleh disebut. Kafka dan Borges sudah masuk dalam tradisi lain. Edgar Allan Poe lagilah. Vladimir Nabokov, yang menyebut cerpen The Lady with the Little Dog sebagai cerpen terbaik dalam sejarah sastera, barangkali ialah cerpenis paling dekat untuk berdiri di sebelah Chekhov.

Ini ialah pendapat yang ditulis oleh Nabokov tentang Chekhov, "all I can make out is a madley of dreadful prosaisms, ready-made epithets, repetitions, doctors, unconvincing vamps, and so forth: yet it his works which I would take a trip to another planet."

Sekarang kita lihat pula kritikan Nabokov terhadap cerpen The Lady with the Little Dog. Nabokov di sini sedang menceritakan babak di hotel iaitu tempat Gurov pertama kali melakukan hubungan seks dengan kekasih gelapnya:

"Then in her hotel room her awkwardness and tender angularity are delicately conveyed. They have become lovers. She was now sitting with her long hair hanging down on both sides of her face in the dejected pose of a sinner in some old picture. There was a watermelon on the table. Gurov cut himself a piece and began to eat unhurriedly. This realistic touch is again a typical Chekhov device."

Saya sangat suka apabila Nabokov menggambarkan Gurov makan tembikai itu dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Nabokov seperti sedang melukiskan sendiri dalam minda kita sejarah hidup dan kaedah penulisannya. Nabokov lahir pada tahun 1899 di Saint Petersburg dalam keluarga yang kaya sebelum mereka melarikan diri ke England akibat revolusi di Rusia. Dia kemudian berpindah ke Perancis pada tahun 1937 dan di situ dia menulis catatan ini:

"The anguish that I feel now when I remember the beautiful house where I lived as a child has nothing to do with those political events which, to use a journalistic cliche, have overturned my country. I find nothing but amusement in these political events. It is on a whole other level and according to a turn of mind is not concerned with the accidents of history that my memory moves and rests."

Untuk seorang penulis seperti Nabokov, dan sudah tentu penulis-penulis realisme yang lain, manusia itu sentiasa hidup sebagai pelarian dalam hubungannya dengan masa silam. Ia sesuatu yang tidak boleh dimiliki kembali. Kehidupan sentiasa mengalir meninggalkan kita. Hanya fiksyen yang kekal. Kadang-kadang hanya ingatan remeh, seperti memotong sehiris buah tembikai, sudah cukup untuk mengabadikan kewujudan sebuah kehidupan lama. Inilah pengajaran paling penting sebuah karya realisme kepada kita.

*

Pada Julai 1910, Vladimir Nabokov telah keluar memburu rama-rama berhampiran Oredezh:

"Through the smells of the bog, I cuaght the subtle perfume of butterfly wings on my fingers, a perfume which varies with the species - vanilla, or lemon, or musk, or a musty, sweetish odor difficult to define. Still unsated, I pressed forward. At last I saw I had come to the end of the marsh. The rising ground beyond was a paradise of lupines, columbines, and pentstemons. Mariposa lilies bloomed under Ponderosa pines. In the distance, fleeing cloud shadows dappled the dull green of slopes above timber line, and the gray and white of Longs Peak.

I confess I do not believe in time. I like to fold my magic carpet, after use, in such a way as to superimpose one part of the pattern upon another."

Saya perlu sebut awal-awal di sini bahawa pokok pine jenis Ponderosa tidak wujud di Eropah; ia hanya boleh dijumpai di Amerika. Dalam kata lain, Nabokov telah melakukan superimpose antara fakta dan fiksyen - antara realiti dan imaginasi. Seperti Marcel Proust dan Virginia Woolf, Nabokov menuliskan semula sejarah hidupnya.

Saya telah membandingkan Anton Chekhov dengan Anwar Ridhwan berdasarkan kesederhanaan bahasa mereka. Untuk Nabokov saya akan membandingkan dia dengan Seno Gumira Ajidarma. Kedua-duanya memandang alam dengan mata seorang penyair. Kedua-duanya suka penggunaan ayat yang berlirik-lirik yang membuat kita rasa seperti menonton sebuah persembahan tarian balet. Dan kedua-duanya mencintai metafora. Perbezaan mereka ialah hubungan mereka dengan kata-kata. Cuba bandingkan cerpen Seno Sepotong Senja Untuk Pacarku dengan petikkan ini dari cerpen Nabokov berjudul Spring In Fialta:

"A pointless infant of the male sex, with a taut mud-gray little belly, jerkily stepped down from a doorstep and waddled off, bowlegged, trying to carry three oranges at once, but continuously dropping the variable third, until he fell himself, and then a girl of twelve or so, with a string of heavy beads around her dusky neck and wearing a skirt as long as that of a Gypsy, promptly took away the whole lot with her more nimble and more numerous hands. Nearby, on the wet terrace of a cafe, a waiter was wiping the slabs of tables; a melancholy brigand hawking local lollipops, elaborate looking things with a lunar gloss, had placed a hopelessly full basket on the cracked balustrade, over which the two were conversing. Either the drizzle had stopped or Fialta had got so used to it that she herself did not know whether she was breathing moist or warm rain. Thumb-filling his pipe from a rubber pouch as he walked, a plus-foured Englishman of the solid ex-portable sort came from under an arch and entered a pharmacy, where large pale sponges in a blue vase were drying a thirsty death behind their glass. What luscious elation I felt rippiling through my veins, how gratefully my whole being responded to the flutters and effluvia of that gray day saturated with a vernal essence which itself seemed slow in perceiving! My nerves were unsually receptive after a sleepless night; I assimilated everything: the whistling of a thrush in the almond trees beyond the chapel, the peace of the crumbling houses, the pulse of the distant sea, painting in the mist, all this together with the jelous green bottle glass bristling along the top of a wall and the fast colors of a circus advertisement featuring a feathered Indian on a rearing horse in the act of lassoing a boldly endemic zebra, while some thoroughly fooled elephants sat brooding upon their star-spangled thrones."

Deskripsi panjang, detail, dan indah ini berlaku ketika pencerita cerpen ini, iaitu Victor, baru sampai di sebuah pekan bernama Fialta. Di sana dia tersempak kembali dengan seorang perempuan bernama Nina. Dari situ naratif cerita mulai masuk ke dalam ingatan Victor tentang hubungannya bersama Nina, bermula dengan kali pertama mereka bertemu pada pada tahun 1917 di Rusia. Setiap siri ingatan - bersama warna latar, emosi, perbualan - dilukiskan dengan begitu jelas ia membuat kita rasa seolah-olah peristiwa silam itu sedang berlaku di depan mata kita sekarang; namun sepanjang cerita ini Victor juga sentiasa mempersoalkan keupayaan dia untuk ingat semua benda. Membaca cerpen ini sentiasa mengingatkan saya akan keterbatasan kata-kata dalam menceritakan kembali segala isi memori kita. Namun, keterbatasan itu jugalah yang sentiasa membuka ruang baru untuk kita menulis semula kewujudan hidup kita.

Seno Gumira Ajidarma mungkin sudah hilang kepercayaan pada kata-kata, tetapi bagi saya selagi sastera itu hidup maka selagi itulah kata-kata akan hidup bersamanya. Kata-kata datang dari diri kita. Ia lahir dari dalam minda seorang manusia. Ia bukan wang kertas dari sebuah bank yang kaku dan sama sahaja bentuknya. Kalau ia mati, ia bukan kerana bahasa sudah mati, atau kerana bahasa sudah hilang fungsinya, tetapi kerana minda yang melahirkannya itu telah berhenti untuk melihat kehidupan.

Yang akan tinggal kemudian hanyalah sisa-sisa sentimentaliti dari sebuah kehidupan yang sepi.

Comments

mohamad kholid said…
as-salam, sdr azriq, sepatutnya hantar atikel ini ke laman sastera utusan supaya lebih ramai yang mendapat menafaat.
Wan Nor Azriq said…
salam abang kholid,terima kasih atas saranan itu :)

Popular Posts